Kedaulatan Pertama Kali Di Perkenalkan Seorang Ahli Kenegaraan Yaitu
SuaraJogja.id –
Kedaulatan merupakan kekuasaan terala yang dimiliki oleh suatu negara buat secara nonblok melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. Berikut penjelasan sifat-kebiasaan otonomi secara eksemplar.
Kedaulatan suatu negara tidak lagi berwatak mutlak alias otoriter, akan tetapi pada batas-had tertentu harus mengagungkan kebebasan negara lain, nan diatur melalui hukum internasional. Keadaan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kemerdekaan negara berperilaku nisbi.
Indonesia sendiri menerapkan kebebasan rakyat nan signifikan rezim bernasib baik kepercayaan mulai sejak rakyat, maka itu rakyat, dan bikin rakyat.
Ilustrasi tunggul merah putih (Pixabay.com/Mufid Majnun).
Kedaulatan rakyat ini sayang juga disebut dengan demokrasi nan bermakna tadbir dari, makanya, dan kerjakan rakyat.
Baca Juga: Atasan Umum PKR Ajak Anak Akil balig Teladani Pahlawan Slamet Riyadi
Ciri-ciri sistem pemerintahan menganut kedaulatan rakyat perumpamaan berikut:
1. Adanya acaram atas hak penghuni negara2. Adanya kolaborasi rakyat terhadap pemerintahan3. Adanya pemilu yang independen dan adil serta dilaksanakan secara periodik4. Adanya lembaga agen rakyat maupun legislatif5. Adanya kontrol atau pemgawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik oleh lembaga legislatif maupun secara langsung maka itu rakyat.6. Mempunyai prosedur pertanggung jawaban pemerintah terhadap rakyat.
7. Menerapkan pendirian demokrasi dalam penyelenggaraan negara.
Akan halnya penjelasan Sifat-sifat Kedaulatan Rakyat yaitu ibarat berikut:
• Permanen artinya otonomi tetap cak semau sejauh negara itu tegar berdiri walaupun pemerintahannya sudah berganti.
• Kudus artinya kemerdekaan tidak berasal dari kekuasaan bukan nan makin jenjang.
• Bulat atau tunggal artinya otonomi tidak boleh dibagi-untuk karena akan mengeruhkan sifat kedaulatan laksana kekuasaan termulia. Kekuasaan tersebut merupakan satu-satunya di internal negara.
Baca Juga: Pengertian Kedaulatan Rakyat Menurut Sudut Pandang Islam
• Tidak terbatas artinya kebebasan tidak dapat dibatasi oleh segala pun dan oleh siapa pun.
Andai negara yang berdaulat, negara Indonesia kebebasan tertingginya bernas di tangan rakyat.
adjar.id
Kemerdekaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan tertinggi atas pemerintah negara, negeri, dan sebagainya.
Pada sosi Pendidikan Pancasila dan Nasional kelas 8 SMP, terdapat suatu soal di uji kompetensi 2 halaman 55.
Baca Juga: Teori Kemerdekaan Menurut Tukang Kenegaraan
Soal tersebut meminta kita untuk menjelas empat aturan dari kedaulatan yang juga merupakan Kali ini, kita akan membahas mengenai jawaban dari soal tersebut sebagai referensi bagi Adjarian saat mengerjakannya.
Otonomi terbagi menjadi dua jenis, yaitu kemerdekaan ke n domestik dan lagi kedaulatan keluar.
Yuk, kita simak penjelasan buat jawaban soal di uji kompetensi dua akan halnya empat sifat kedaulatan berikut ini!
(unsplash)
– Kerumahtanggaan suatu
negara
terwalak empat resan kemerdekaan yang taktik sebagai kekuasaan tertingi kerumahtanggaan menentukan syariat.
materi PPKn
kelas bawah 8 SMP.
Page 2
Laksana negara yang berdaulat, negara Indonesia kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat.
1. Kedaulatan Berperilaku Asli
Kebebasan punya sifat yang kudus, artinya kekuasaan nan cak semau dalam suatu negara enggak beradal bersumber kekuasaan lain nan lebih tinggi.
Kemerdekaan bersifat nirmala ini bisa disebut bak kedaulatan yang sewenang-wenang nan bukan ada supremsi lain yang lebih tangga di dalam satu negara.
Ambillah, di kerumahtanggaan satu negara nan demokrasi kedaulatan ini asalnya murni dari rakyat yang congah di kerumahtanggaan negara tersebut.
Baca Juga: Rangka dan Pendirian Kemerdekaan yang Dimiliki Negara Indonesia
Jadi, kemandirian yang berasal semenjak rakyatlah yang merupakan kekuasan teratas n domestik suatu negara.
Rakyat mengidas presiden sebagai melaksanakan kemerdekaan yang asalnya berbunga rakyat tersebut.
Makanya karena itu, presiden yang tersortir dari rakyat merupakan kerangka pelaksana kedaulatanyang tetap mendengarkan aspirasi rakyat.
Hal ini harus dilakukan karena presiden dipilih oleh rakyat atas dasar kepercayaan rakyat bagi memegang kedaulatan negara.
(unsplash)
Page 3
Sebagai negara yang berdaulat, negara Indonesia kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat.
2. Kedaulatan Berperangai Permanen
Kedaulatan pun mempunyai kebiasaan yang permanen, artinya otonomi nan dimiliki satu negara kukuh akan cak semau sejauh negara tersebut berdiri.
Cak agar tadbir bertukar, kemandirian suatu negara tetap ada karena nan berganti hanyalah pemerintahannya bukan negaranya.
Padalah, internal situasi ini kita bisa mengetahui bahwa pemegang otoritas boleh selamana berada sebagai penguasa.
Baca Kembali: Mengenal Rangka Negara perumpamaan Pencipta Kemandirian Rakyat
Akan belaka, negara akan taat terserah supaya pemegang kekuasaannya berganti, hal ini yang membuat kemandirian negara mempunyai kebiasaan permanen.
3. Kedaulatan Berkepribadian Partikular
Kedaulatan memiliki sifat tunggal, nan artinya kekuasaan mengenai kemandirian ini tetapi amung di internal negara serta bukan bisa diberikan kepada awak tidak.
Kedaulatan ini punya kebiasaan tunggal mudah-mudahan tidak ada perselisihan di dalam negara cak bagi memperebutkan independensi.
Ambillah, negara kerakyatan pengaruh tertingginya kreatif di tangan rakyat yang menjadikan rakyat sebagai amung yuridiksi paling tinggi dalam negara.
(unsplash)
Page 4
Sebagai negara yang berdaulat, negara Indonesia kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat. Kekuasan yang dipegang oleh rakyat ini tidak bisa diberikan kepada badan lain yang bukan rakyat.
Hal ini dikarena takdirnya independensi dibagi maka kedaulatan boleh kehilangan kancah dan bisa digantikan oleh kedaulatan-kedaulatan lainnya yang tidak sesuai dengan ideologi negara.
Jadi, jika otonomi negara tergangu maka dari itu gerombolan atau tubuh tertentu, umpama rakyat kita harus segera menjaga kedaulatan sepatutnya tidak hilang.
Baca Juga: Perkembangan Demokrasi di Negara Republik Indonesia
4. Kedaulatan Berperangai Lain Terbatas
Kedaulatan mempunyai sifat yang tidak terbatas, artinya pengaturan tersebut tidak bisa dibatasi dengan adanya kekuasaan lain.
Negara demokrasi, kekuasan terala fertil di tangan rakyat, apabila kekuasaan rakyat dibatas oleh kekuasaan enggak boleh menimbulkan konflik.
Bintang sartan, apabila negara sudah mengatakan bahwa kebebasan negara berada di tangan rakyat, maka harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ambillah, Adjarian itulah penjelasan akan halnya empat kebiasaan kemerdekaan yang bisa menjadi referensi untuk menjawab soal uji kompetensi 2 puas halaman 55, ya.
Yuk, tonton video ini juga!
Negara berdaulat
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa nan yakni negara berdaulat, biarpun bukan semua negara-negara berdaulat tentu menjadi anggotanya.
Kerelaan atau hilangnya suatu negara ialah permasalahan proklamasi.[3] Sementara itu menurut teori deklaratif kenegaraan, sebuah negara berdaulat dapat ada sonder harus diakui makanya negara-negara berdaulat, biarpun kalau suatu negara redup tanpa pengakuan negara lain akan sering menemukan kesulitan untuk bertindak penuh dalam masalah kekuatan membuat perjanjian dan berkujut dalam kontak diplomatik dengan negara-negara berdaulat.
Negara datang ke dalam kehadiran perumpamaan individu yang “secara bertahap dipindahkan kesetiaan mereka dari makhluk penguasa (syah, adipati, sinuhun) bikin enggak berwujud tapi entitas teritorial ketatanegaraan negara”.Templat:Attribution needed[4] Negara ini adalah keseleo satu dari bilang order politik yang muncul semenjak feodal Eropa, lainnya menjadi negara kota, liga, dan imperium dengan klaim universalis ke otoritas.[5]
Independensi Westfalen adalah konsep otonomi negara kebangsaan beralaskan teritorial dan tidak adanya peran badan-jasmani eksternal di struktur n domestik negeri. Ini adalah sebuah sistem internasional dari negara-negara, perusahaan multinasional, dan organisasi-organisasi yang dimulai dengan Perdamaian Westfalen pada perian 1648.
Kedaulatan yakni istilah yang sering disalahgunakan.[6][7] Sebatas abad ke-19, konsep terradikal “standar-standar peradaban” secara rutin digunakan untuk menentukan bahwa beberapa bangsa di dunia “tidak berbudaya” dan memiliki mahajana yang terbatas terorganisir. Posisi itu tercermin dan didasari sreg gagasan bahwa “kedaulatan” itu serius kurang, maupun sedikitnya karakter inferior bila dibandingkan dengan sosok-cucu adam nan “beradab”.[8] Lassa Oppenheim bersabda, “Barangkali tidak terserah konsepsi yang maknanya lebih polemis daripada kedaulatan. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa konsepsi ini, sejak awal diperkenalkan ke dalam ilmu politik sampai sekarang, tidak pernah memiliki makna nan disepakati secara mondial.”[9] N domestik pendapat H. V. Evatt berpangkal Perbicaraan Tinggi Australia, “kedaulatan yaitu bukan sebuah pertanyaan akan halnya fakta, maupun pertanyaan mengenai hukum, tapi pertanyaan itu tidak muncul sama sekali.”[10]
Kebebasan telah diambil pada makna yang berbeda dengan ekspansi mulai sejak prinsip penentuan sendiri dan pantangan terhadap ancaman maupun pemakaian kekuatan sebagai norma-norma jus cogens hukum jagat modern. Dalam Arsip PBB, Konsep Warta mengenai Nasib baik dan Muatan Negara dan piagam dari organisasi kedaerahan internasional mengungkapkan pandangan bahwa semua negara secara yuridis sepadan dan menikmati nasib baik dan kewajiban nan sama berdasarkan fakta keberadaan mereka sebagai orang-individu di dasar syariat antarbangsa.[11][12] Hak negara untuk menentukan status strategi dan praktik kemerdekaan permanen sendiri kerumahtanggaan batas-perenggan yurisdiksi teritorial mereka secara luas diakui.[13][14][15]
Dalam ilmu ketatanegaraan, kedaulatan biasanya didefinisikan sebagai atribut yang minimum terdahulu bersumber negara dalam bentuk berdikari lengkap di intern bingkai dari satu distrik tertentu, yaitu supremasi dalam kebijakan tempatan dan kemerdekaan di luar negeri.[16]
Dinamakan berdasarkan Traktat Westfalen 1648, sistem kemerdekaan negara Westfalen nan menurut Bryan Turner adalah “membuat pemecahan yang lebih atau abnormal jelas antara agama dan negara, dan mengakuri hak para pangeran ‘bakal mengakui’ negara, yaitu, untuk menentukan agama yang dianut kerajaan mereka internal prinsip realistis cuius regio eius religio.”[17]
Cermin kedaulatan negara Westfalen mutakadim semakin dikritik dari pihak “non-barat” bagaikan suatu sistem yang diberlakukan semata-mata oleh Kolonialisme Barat. Apa yang model ini bakal ialah membuat agama menjadi bawahan bakal politik, masalah yang telah menyebabkan beberapa masalah di manjapada Selam. Sistem ini tidak cocok di manjapada Islam karena konsep-konsep begitu juga “pemisahan katedral dan negara” dan “hati firasat hamba allah” yang tidak diakui dalam agama Selam seumpama sistem sosial.
Kerumahtanggaan penggunaan kasual, istilah “negara”, “bangsa” dan “negara (statum)” yang sayang digunakan seolah-olah identik, belaka dalam diskriminatif penggunaan mereka boleh dibedakan:[butuh rujukan]
Persaksian negara menandakan keputusan berpokok sebuah negara berdaulat untuk memberlakukan wahdah tak sekali lagi menjadi sebuah negara berdaulat.[18] Pengakuan dapat positif dinyatakan atau tersirat dan biasanya berlaku surut intern dampaknya. Itu lain selalu menandakan keinginan bakal membangun ataupun mempertahankan hubungan diplomatik.
Tidak suka-suka definisi nan mengikat semua anggota masyarakat bangsa-bangsa pada kriteria kenegaraan. Kerumahtanggaan praktik yang sebenarnya, kriterianya terutama garis haluan, bukan syariat.[19] L. C. Green mengutip syahadat negara Polandia dan Cekoslowakia yang belum lahir dalam Perang Bumi I dan menjelaskan bahwa “sejak pengakuan kenegaraan yakni masalah kebijaksanaan, itu terbuka untuk semua negara yang ada untuk menerima sebagai sebuah negara dengan setiap entitas itu berwujud keinginan, terlepas dari keberadaan wilayah atau dari yang ditetapkan pemerintah.”[20]
Namun, dalam hukum jagat ada beberapa teori saat sebuah negara harus diakui sebagai negara berdaulat.[21]
Teori kenegaraan konstitutif Salah suatu suara miring utama pecah undang-undang ini adalah keresahan yang disebabkan ketika beberapa negara menyepakati entitas baru, tetapi negara-negara lain tidak. Hersch Lauterpacht, salah satu pendukung utama teori, mensyurkan bahwa negara nan mengakuilah yang menjadi negara nan bertugas untuk memberikan pengakuan umpama solusi yang bisa jadi. Namun, satu negara bisa menggunakan barometer detik menilai jikalau mereka harus menyerahkan pengakuan dan mereka tak memiliki barang bawaan bikin memperalat patokan tersebut. Banyak negara mungkin hanya mengakui negara tak jikalau hal tersebut yaitu untuk keuntungan mereka.
Plong tahun 1912, L. F. L. Oppenheim mengatakan seperti berikut untuk bersabda mengenai teori konstitutif:
Hukum Internasional tidak mengatakan bahwa sebuah negara enggak terserah selama negara tersebut tidak diakui, sahaja negara tersebut tidak mendapatkan pemberitahuannya sebelum diakui. Belaka dan secara spesial melampaui pengakuan belaka sebuah negara menjadi seorang Pribadi Internasional dan sebuah subjek Hukum Internasional.
Sebaliknya, Pasal 3 bersumber Konvensi Montevideo menyatakan bahwa politik kenegaraan lepas berusul pengakuan maka itu negara-negara enggak, dan negara tidak dilarang untuk membela dirinya seorang.[26] Sebaliknya, pengakuan ini dianggap sebagai persyaratan untuk kenegaraan oleh teori kenegaraan konstutif.
Pendapat serupa tentang “kondisi di mana suatu entitas merupakan negara” diungkapkan oleh Pendapat Komite Arbitrasi Badinter Mayarakat Ekonomi Eropa yang menngemukakan bahwa penemuan sebuah negara didefinisikan dengan n kepunyaan kewedanan, penduduk, dan kekuasaan politik.[butuh rujukan]
Praktik negara yang berkaitan dengan pengakuan dari negara-negara lazimnya jatuh di suatu tempat antara pendekatan deklarator dan konstitutif.[27] Syariat Jagat rat tidak mengharuskan suatu negara bakal menerima negara-negara lain.[28] Persaksian ini majuh dipotong ketika negara plonco dipandang bagaikan tidak sah ataupun telah terjadi pelanggaran terhadap syariat internasional. Lain diakuinya oleh hampr seluruh umum antarbangsa mayapada terhadap Rhodesia dan Siprus Utara adalah teladan yang baik bermula ini, mantan Rhodesia namun mutakadim diakui oleh Afrika Daksina, dan Siprus Utara hanya diakui maka dari itu Turki. Dalam kasus Rhodesia, syahadat itu banyak dipotong ketika minoritas kulit tulen merebut kekuasaan dan berusaha bikin membentuk negara di selama garis Apartheid Afrika Selatan, sebuah usaha yang menjelaskan Dewan Keamanan PBB seumpama kreasi “pemerintahan minoritas rasis tak legal”.[29] N domestik kasus Siprus Utara, pengakuan itu dipotong berbunga negara yang dibuat di Siprus Lor.[30] Hukum Internasional tak mengandung larangan embaran otonomi[31] dan syahadat suatu negara adalah masalah politik.[32] Sebagai hasilnya, Siprus Turki memperoleh “status pengamat” intern Kelajuan, dan wakil-wakil mereka yang tersaring di Majelis Siprus Utara;[33] dan Siprus Utara menjadi pengamat anggota OKI dan OKSE.
Formosa ataupun Taiwan sekali lagi bersituasi nan selaras. Tetapi 21 negara di dunia mengakui Republik Tiongkok (tanda resmi dari Formosa).[34] Republik Rakyat China menyatakan bahwa Formosa adalah bagian darinya.
Sebagian besar negara-negara berdaulat adalah negara de jure dan de facto (ialah, mereka yang suka-suka baik dalam syariat maupun dalam kenyataan). Namun, suatu negara dapat diakui hanya bak negara de jure yangdalam keadaan ini diakui misal pemerintah yang lumrah bersumber sebuah provinsi di mana ia bukan memiliki kontrol sebenarnya. Perumpamaan teladan, selama Perang Dunia Kedua, pemerintah privat pengasingan berpunca bilang negara-negara Eropa kontinental terus menikmati ikatan diplomatik dengan Sekutu, terlepas bahwa negara mereka mampu di asal pendudukan Nazi. OPP dan Otoritas Palestina mengklaim bahwa Negara Palestina adalah sebuah negara berdaulat, klaim yang telah diakui makanya sebagian besar negara, meskipun negeri yang diklaim tersebut secara de facto kaya di dasar lagam Israel.[./Sovereign_state#cite_note-israel-36 Lamun istilah “negara” dan “pemerintah” burung laut digunakan secara berselang -selang,[54] hukum antarbangsa membedakan antara negara nonfisik dan pemerintahnya; dan lega kenyataannya, konsep “pemerintah dalam pengasingan” didasarkan atas perbedaan itu.[55] Negara merupakan kesatuan yuridis nonfisik, dan bukan organisasi apapun.[56] Namun, biasanya, doang pemerintah suatu negara dapat mewajibkan alias mengikat negara, misalnya dengan perjanjian.
Pada umumnya, negara merupakan keekaan tahan lama, kendatipun barangkali bagi mereka bikin hancur, baik melangkaui sukarela maupun kepentingan-kekuatan luar, seperti aneksasi militer. Menurut sebuah riset waktu 2004, penghapusan sudah lalu karib berhenti sejak pengunci Perang Mayapada II.[57] Karena negara-negara non-fisik yuridis badan, telah berpendapat kepunahan mereka tidak bisa karena khasiat jasad saja.[58] Sebaliknya, tindakan-tindakan fisik militer harus terkait dengan bermartabat sosial maupun peradilan tindakan privat rancangan untuk menghapuskan negara.
Ontologi status negara telah menjadi materi perdebatan,[59] secara khusus, apakah atau enggak negara, menjadi sebuah benda yang bukan ada yang boleh lihat, rasa, sentuhan, atau jika enggak, mendeteksi[60] yang mendalam ada.
Sudah dikemukakan bahwa salah satu potensi alasan mengapa keberadaan negara sudah lalu menjadi kontroversi yakni karena negara tidak memiliki tempat internal dualitas tradisional Platonis yang berupa maupun yang sempurna.[61] Berdasarkan karakteristiknya, objek konkret merupakan mereka yang memiliki posisi dalam ulas dan musim yang menyatakan tidak memiliki (meskipun wilayah mereka memiliki posisi spasial, tapi negara-negara nan berbeda dari negeri mereka), dan benda-benda abstrak memiliki posisi tidak dalam hari maupun ruang yang tak sesuai dengan karakteristiknegara seharusnya, karena negara-negara memiliki posisi temporal (mereka dapat dibuat pada waktu-musim tertentu dan kemudian menjadi punah di kala nanti). Juga, benda-benda contoh berdasarkan karakteristiknya benar-benar nonkausal, yang juga lain yaitu ciri khas dari negara-negara karena negara-negara boleh bertindak di marcapada dan dapat menyebabkan keadaan-kejadian tertentu (meskipun sahaja dengan tindakan yang diambil atas nama mereka melalui perwakilan).[62] Maka dari itu karena itu, telah suka-suka pendapat bahwa negara-negara yang tersurat ke dalam kategori ketiga, abstrak kuasi nan baru-mentah ini sudah lalu tiba mengumpulkan perhatian filosofis, terutama di kawasan dokumenter, teori ontologi berusaha cak bagi memahami peran dari dokumen internal memaklumi semua realitas sosial. Bulan-bulanan abstrak kuasi, seperti negara, dapat diwujudkan melewati tindakan dokumen dan juga bisa digunakan cak bagi menggagas mereka, seperti dengan menambat mereka dengan perjanjian atau menyerahkan mereka sebagai hasil dari perang.
Para sarjana perantaraan internasional bisa dipecah menjadi dua praktik berbeda, realis dan kabilah pluralis, dari apa yang mereka percaya terhadap ontologi negara dari negara tersebut. Realis percaya bahwa dunia adalah semata negara dan perantaraan antarnegara dan identitas negara didefinisikan sebelum hubungan internasional dengan negara-negara lain. Di arah lain, suku bangsa pluralis berketentuan bahwa negara bukan satu-satunya aktor dalam hubungan alam semesta dan interaksi antara negara dan negara berlomba mengganjar banyak aktor-aktor lain.[63]
Teori lain dari ontologi negara yakni bahwa negara ialah kesatuan spiritual[64] alias “perdukunan” dengan menjadi sendiri, yang berbeda semenjak anggota negara. Filsuf Idealis Jerman, Georg Hegel (1770-1831) probabilitas menjadi partisan terbesar teori ini. Defini negara menurut Hegelian merupakan “Ide Ilahi seperti yang ada di Manjapada”.[65]
Sejak intiha Perang Manjapada II, jumlah negara-negara berdaulat privat sistem internasional telah melonjak.[66] Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan organisasi-organisasi antarbangsa dan regional, ketersediaan yang lebih samudra mulai sejak sambung tangan ekonomi, dan penerimaan yang lebih lautan dari norma penentuan nasib koteng telah meningkatkan keinginan dari unit-unit politik bikin mempersatukan diri dan bisa dikreditkan untuk meningkatkan kuantitas negara-negara internal sistem jagat rat.[67][68] Ekonom Harvard, Alberto Alesina dan ekonom Tufts, Enrico Spolaore berpendapat dalam kiat mereka, Size of Nations bahwa peningkatan jumlah negara sebagian boleh dikreditkan untuk dunia yang bertambah damai, penggalasan bebas dan integrasi ekonomi alam semesta yang makin segara, demokratisasi, dan adanya organisasi-organisasi internasional yang mengkoordinasikan kebijakan ekonomi dan politik negara.[69]
(unsplash)
intern hukum sejagat adalah ahadiat yuridis nonfisik yang diwakili oleh satu pemerintah tergabung yang mempunyai kemerdekaan atas wilayah geografis. Syariat internasional mendefinisikan negara-negara berdaulat sebagai wahdah yang memiliki warga permanen, wilayah tetap, pemerintah, dan daya produksi lakukan masuk ke dalam perantaraan dengan negara-negara berdaulat.[1] Situasi ini lagi dipahami bahwa negara berdaulat tidak bergantung lega atau n kepunyaan kekuatan alias negara tak.[2]
Teori konstitutif
mendefinisikan negara perumpamaan pribadi hukum internasional jika, dan hanya seandainya, hal ini diakui sebagai negara oleh negara-negara lain. Teori pengakuan ini dikembangkan plong abad ke-14. Di dasar ini, sebuah negara menjadi berdaulat takdirnya negara berdaulat tidak mengakui seperti itu. Karena ini, negara-negara baru tidak bisa segera menjadi bagian dari publik jagat alias terhibur oleh hukum internasional, dan diakui negara-negara yang tak menghormati hukum dunia semesta n domestik hubungan mereka dengan mereka.[22] Sreg tahun 1815 di Kongres Wina, Tindakan Intiha mengakui hanya 39 negara-negara berdaulat intern sistem diplomatik Eropa, dan ibarat jadinya itu tegas menetapkan bahwa di masa depan negara-negara hijau harus diakui maka itu negara-negara lain, dan itu berarti praktik pengakuan dilakukan maka itu salah satu maupun lebih dari kekuatan-manfaat besar.[23]
Teori deklaratif
teori kenegaraan deklaratif
mendefinisikan negara umpama pribadi dalam syariat internasional jika memenuhi patokan laksana berikut: 1) distrik yang ditetapkan; 2) populasi permanen; 3) pemerintah, dan 4) kemampuan bagi masuk ke internal afiliasi dengan negara-negara enggak. Menurut teori deklaratif, satu entitas kenegaraan adalah maaf terbit persaksian oleh negara-negara lain. Komplet deklaratif nan paling terkenal dinyatakan dalam tahun 1933 pada Konvensi Montevideo.[25]
Pengakuan negara
Negara de facto dan de jure
[36]][49] Kesatuan lain mungkin punya kontrol de facto atas suatu provinsi tetapi lain mempunyai pengakuan internasional; ini mungkin dianggap oleh publik internasional cak bagi menjadi hanya negara de facto. Mereka dianggap secara de jure negara hanya sesuai dengan hukum mereka seorang dan makanya negara-negara yang mengenali mereka. Misalnya, Somaliland ini biasanya dianggap sebagai kejadian sebagaimana itu.[50][51][52][53] Bakal daftar ketunggalan yang mau secara universal diakui sebagai negara berdaulat, tetapi tidak punya persaksian diplomatik lengkap seluruh manjapada, lihat daftar negara dengan pengakuan terbatas.
Negara bagaikan “khayali kuasi”
Negara sebagai “keekaan spiritual”
^
See the following:
^
See the following:
^
Lalonde, Suzanne (2002). “Notes to pages”. Determining boundaries in a conflicted world: the role of uti possidetis. McGill-Queen’s Press – MQUP. hlm. 181. ISBN 978-0-7735-2424-8.
^
Glassner, Martin Ira; Fahrer, Chuck (2004). Political Geography (edisi ke-3rd). Hoboken: Wiley. hlm. 14. ISBN 0-471-35266-7.
^
Spruyt, H. (1994). The Sovereign State and its Competitors: An Analysis of Systems Change. Princeton, NJ: Princeton University Press. ISBN 0-691-03356-0.
^
Krasner, Stephen D. (1999). Sovereignty: Organised Hypocrisy. Princeton University Press. ISBN 0-691-00711-X.
^
Núñez, Jorge Emilio. “About the Impossibility of Absolute State Sovereignty”. International Journal for the Semiotics of Law.
^
Wilde, Ralph (2009). “From Trusteeship to Self-Determination and Back Again: The Role of the Hague Regulations in the Evolution of International Trusteeship, and the Framework of Rights and Duties of Occupying Powers”. Loy. L.A. Int’l & Comp. L. Rev.
31: 85–142 [p. 94].
^
Lassa Oppenheim, International Law 66 (Sir Arnold D. McNair ed., 4th ed. 1928)
^
Akweenda, Sackey (1997). “Sovereignty in cases of Mandated Territories”. International law and the protection of Namibia’s territorial integrity. Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 40. ISBN 90-411-0412-7.
^
“Chapter IV Fundamental Rights and Duties of States”. Charter of the Organization of American States. Secretariat of The Organization of American States. Diakses tanggal
21 November
2010.
^
“Draft Declaration on Rights and Duties of States”
(PDF). UN Treaty Organization. 1949. Diakses tanggal
21 November
2010.
^
“General Assembly resolution 1803 (XVII) of 14 December 1962, “Permanent sovereignty oper natural resources““. United Nations. Diarsipkan dari versi salih tanggal 2011-02-18. Diakses tanggal
21 November
2010.
^
Schwebel, Stephen M., The Story of the U.N.’s Declaration on Permanent Sovereignty over Natural Resources, 49 A.B.A. J. 463 (1963)
^
“International Covenant on Civil and Political Rights”.
^
Grinin L. E. Globalization and Sovereignty: Why do States Abandon their Sovereign Prerogatives?
^
Turner, Bryan (July 2007). “Islam, Religious Revival and the Sovereign State”. Mukmin World.
97
(3): 405–418. Diakses copot
26 October
2014.
|accessdate= requires |url= (bantuan)
^
“Recognition”, Encyclopedia of American Foreign Policy.
^
See B. Broms, “IV Recognition of States”, pp 47-48 in International law: achievements and prospects, UNESCO Series, Mohammed Bedjaoui(ed), Martinus Nijhoff Publishers, 1991, ISBN 92-3-102716-6 [1]
^
See Israel Yearbook on Human Rights, 1989, Yoram Dinstein, Mala Tabory eds., Martinus Nijhoff Publishers, 1990, ISBN 0-7923-0450-0, page 135-136 [2]
^
Thomas D. Grant, The recognition of states: law and practice in debate and evolution (Westport, Connecticut: Praeger, 1999), chapter 1.
^
Hillier, Tim (1998). Sourcebook on Public International Law. Routledge. hlm. 201–2. ISBN 1-85941-050-2.
^
Kalevi Jaakko Holsti Taming the Sovereigns p. 128.
^
Lassa Oppenheim, Ronald Roxburgh (2005). International Law: A Treatise. The Lawbook Exchange, Ltd. hlm. 135. ISBN 1-58477-609-9.
^
Hersch Lauterpacht (2012). Recognition in International Law. Cambridge University Press. hlm. 419.
^
http://www.oas.org/juridico/english/treaties/a-40.html
^
Shaw, Malcolm Nathan (2003). International law (edisi ke-5th). Cambridge University Press. hlm. 369. ISBN 0-521-53183-7.
^
Opinion No. 10. of the Arbitration Commission of the Conference on Yugoslavia.
^
United Nations Security Council Resolution 216
^
United Nations Security Council Resolution 541
^
BBC The President of the International Court of Justice (ICJ) Hisashi Owada (2010): “International law contains no prohibition on declarations of independence.”
^
Oshisanya, An Almanac of Contemporary and Comperative Judicial Restatement, 2016 p.64: The ICJ maintained that … the issue of recognition was a political.
^
James Ker-Lindsay (UN SG’s Former Special Representative for Cyprus) The Foreign Policy of Counter Secession: Preventing the Recognition of Contested States, p.149
^
http://www.mofa.gov.tw/en/AlliesIndex.aspx?n=DF6F8F246049F8D6&sms=A76B7230ADF29736
a
b
B’Tselem – The Israeli Information Center for Human Rights in the Occupied Territories: Israel’s control of the airspace and the territorial waters of the Gaza Strip, Retrieved 2012-03-24.
^
Map of Gaza fishing limits, “security zones”
^
Israel’s Disengagement Plan: Renewing the Peace Process Diarsipkan 2007-03-02 di Wayback Machine.: “Israel will guard the perimeter of the Gaza Strip, continue to control Gaza air space, and continue to patrol the sea off the Gaza coast. … Israel will continue to maintain its essential military presence to prevent arms smuggling along the border between the Gaza Strip and Egypt (Philadelphi Route), until the security situation and cooperation with Egypt permit an alternative security arrangement.”
^
Gold, Dore; Institute for Contemporary Affairs (26 August 2005). “Lazim Acrobatics: The Palestinian Claim that Gaza is Still “Occupied” Even After Israel Withdraws”. Jerusalem Issue Brief, Vol. 5, No. 3. Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses tanggal
2010-07-16
.
^
Bell, Abraham (28 January 2008). “International Law and Gaza: The Assault on Israel’s Right to Self-Defense”. Jerusalem Issue Brief, Vol. 7, No. 29. Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses rontok
2010-07-16
.
^
Ministry of Foreign Affairs of Israel (22 January 2008). Address by Foreign Minister Livni to the 8th Herzliya Conference. Siaran pers. Diakses pada 2010-07-16.
^
Salih, Zak M. (17 November 2005). “Panelists Disagree Over Gaza’s Occupation Harga diri”. University of Virginia School of Law. Diarsipkan dari versi nirmala tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal
2010-07-16
.
^
“Israel: ‘Disengagement’ Will Not End Gaza Occupation”. Human Rights Watch. 29 October 2004. Diakses rontok
2010-07-16
.
^
Staff writers (20 February 2008). “Palestinians ‘may declare state‘“. BBC News. British Broadcasting Corporation. Diakses copot
2011-01-22
.
:”Saeb Erekat, disagreed arguing that the Palestine Liberation Organisation had already declared independence in 1988. “Now we need real independence, titinada a declaration. We need cak benar independence by ending the occupation. We are not Kosovo. We are under Israeli occupation and for independence we need to acquire independence”.
^
Gold, Dore; Institute for Contemporary Affairs (26 August 2005). “Konvensional Acrobatics: The Palestinian Claim that Gaza is Still “Occupied” Even After Israel Withdraws”. Jerusalem Issue Brief, Vol. 5, No. 3. Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses tanggal
2010-07-16
.
^
Bell, Abraham (28 January 2008). “International Law and Gaza: The Assault on Israel’s Right to Self-Defense”. Jerusalem Issue Brief, Vol. 7, No. 29. Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses tanggal
2010-07-16
.
^
Ministry of Foreign Affairs of Israel (22 January 2008). Address by Foreign Minister Livni to the 8th Herzliya Conference. Siaran pers. Diakses pada 2010-07-16.
^
Salih, Zak M. (17 November 2005). “Panelists Disagree Over Gaza’s Occupation Status”. University of Virginia School of Law. Diarsipkan dari versi suci tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal
2010-07-16
.
^
“Israel: ‘Disengagement’ Will Not End Gaza Occupation”. Human Rights Watch. 29 October 2004. Diakses sungkap
2010-07-16
.
^
Israel allows the PNA to execute some functions in the Palestinian territories, depending on special area classification. Israel maintains minimum interference (retaining control of borders: air,[35] sea beyond internal waters,[35][36] land[37]) in the Gaza strip and maximum in “Kewedanan C”.[38][39][40][41][42] See also Israeli-occupied territories.
[43][44][45][46][47][48]
^
Arieff, Alexis (2008). “De facto Statehood? The Strange Case of Somaliland”
(PDF). Yale Journal of International Affairs.
3: 60–79. Diarsipkan terbit varian salih
(PDF)
tanggal 2011-12-13. Diakses tanggal
2010-01-04
.
^
“The List: Six Reasons You May Need A New Atlas Soon”. Foreign Policy Magazine. July 2007. Diakses tanggal
2010-01-04
.
^
“Overview of De-facto States”. Unrepresented Nations and Peoples Organization. July 2008. Diakses rontok
2010-01-04
.
^
Wiren, Robert, Alexis (April 2008). “France recognises de facto Somaliland”. Yale Journal of International Affairs. Tuntunan Nouvelles d’Addis Magazine.
3: 60–79. Diarsipkan dari versi murni tanggal 2018-08-25. Diakses rontok
2010-01-04
.
Proteksi CS1: Tanggal dan hari (link)
CS1 maint: Date and year (link)
^
Robinson, E. H. (April 2008). “The Distinction Between State and Government”
(PDF). Les Nouvelles d’Addis Magazine. hlm. 556–566. Diarsipkan dari versi kudrati
(PDF)
tanggal 2013-11-02. Diakses rontok
2010-01-04
.
Periksa kredit terlepas di: |year= / |date= mismatch (bantuan)
^
Crawford, J. (2006). The Creation of States in International Law (edisi ke-2nd). Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-19-826002-4.
^
Robinson, Edward Heath (2010). “An Ontological Analysis of States: Organizations vs. Legal Persons”
(PDF). Applied Ontology.
5: 109–125. Diarsipkan dari varian steril
(PDF)
tanggal 2015-09-23. Diakses tanggal
2017-07-10
.
^
Fazal, Tanisha M. (2004-04-01). “State Death in the International System”. International Organization.
58
(2): 311–344. doi:10.1017/S0020818304582048. ISSN 1531-5088.
^
Robinson, Edward Heath (2011). “The Involuntary Extinction of States: An Examination of the Destruction of States though the Application of Military Force by Foreign Powers since the Second World War”
(PDF). The Journal of Military Geography.
1: 17–29. Diarsipkan dari versi kalis
(PDF)
copot 2018-02-19. Diakses terlepas
2017-07-10
.
^
Ringmar, Erik (1996). “On the ontological pamor of the state”. European Journal of International Relations.
2
(4): 311–344. doi:10.1177/1354066196002004002. ISSN 1531-5088.
^
A. James (1986).
^
Robinson, Edward H. (2014). “A documentary theory of states and their existence as quasi-abstract entities”
(PDF). Geopolitics.
19
(3): 1–29. doi:10.1080/14650045.2014.913027. Diarsipkan dari versi asli
(PDF)
copot 2016-03-03. Diakses tanggal
16 September
2014.
^
Robinson, Edward H. (2011). “A theory of social agentivity and its integration into the descriptive ontology for linguistic and cognitive engineering”
(PDF). International Journal on Semantic Web and Information Systems.
7
(4): 62–86. doi:10.4018/jswis.2011100103. Diarsipkan dari versi zakiah
(PDF)
tanggal 2017-08-10. Diakses terlepas
16 September
2014.
^
Ringmar, Erik (1996). “On the Ontological Status of the State”. European Journal of International Relations.
10
(2).
^
Fundamentals of Government, pg. 71,
^
Fundamentals of Government, pg. 71 (citing Hegel’s Philosophy of History, trans.
^
“The SAGE Handbook of Diplomacy”. SAGE Publications. hlm. 294–295. Diakses tanggal
2016-11-17
.
^
Fazal, Tanisha M.; Griffiths, Ryan D. (2014-03-01). “Membership Has Its Privileges: The Changing Benefits of Statehood”. International Studies Review (dalam bahasa Inggris).
16
(1): 79–106. doi:10.1111/misr.12099. ISSN 1468-2486.
^
“The State of Secession in International Politics”. E-International Relations. Diakses sungkap
2016-11-16
.
^
“The Size of Nations”. MIT Press. Diakses tanggal
2016-11-16
.
Diperoleh dari “https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Negara_berdaulat&oldid=21358411”
Kedaulatan Pertama Kali Di Perkenalkan Seorang Ahli Kenegaraan Yaitu
Sumber: https://asriportal.com/kedaulatan-pertama-kali-diperkenalkan-seorang-ahli-kenegaraan-yaitu/